Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Sepak Terjang Dalam Peningkatan Kompetensi Penyandang Disabilitas

Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tingkat SD dan SMP di Kota Makassar akan digelar pada 1 - 3 Juli mendatang. Untuk tahun ini, pemerintah kembali menerapkan jalur zonasi dalam tahapan seleksi dengan menjatahkan masing-masing 80% untuk tingkat SD, dan 70% untuk tingkat SMP dari jatah sekolah masing-masing.

Dikutip dari halaman Fajar Indonesia Network, Amalia Malik selaku PLT Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar mengatakan, ada 6 wilayah yang dibagi berdasarkan luas wilayah dan ketersediaan sekolah yang menjadi acuan pilihan dari calon siswa. Sementara untuk proses pendaftaran, bisa dilakukan melalui halaman resmi Disdik Makassar yang dapat diakses pada alamat https://www.disdik.makassar.go.id.

Demi menjaga ketertiban pelaksanaan PPDB di Kota Makassar, PJ Walikota Yusran Jusuf meminta proses pendaftaran PPDB berjalan tanpa adanya spekulasi. Sekolah-sekolah diminta objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan serta menghindari perlakuan diskriminatif.

Adanya himbauan seperti ini semestinya menjadi harapan bagi para orang tua dan peserta didik. Pasalnya, di tahun-tahun sebelumnya, sebagian dari calon siswa kerap kali mengalami hambatan saat mencoba mendaftarkan diri ke sekolah negeri. Dalam hal ini adalah penyandang disabilitas.

Mereka tak jarang mengalami kesulitan bahkan penolakan. Dengan pertimbangan belum adanya fasilitas yang dapat menunjang kebutuhan calon peserta berkebutuhan khusus tersebut. Padahal, sejak lama telah ditetapkan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus.

Yah, memang regulasi yang berlaku sebelum diratifikasinya United Nations On The Rights For Person With Disabilities (UNCRPD) tersebut jika dicermati mengandung beberapa bagian yang keliru. Misalnya, label yang digunakan untuk merujuk kepada siswa berkebutuhan khusus ialah siswa dengan kelainan dan bakat istimewa. Tentu saja terminologi tersebut berpedoman pada Undang-Undang lama yang tentunya memiliki paradikma lama juga.

Namun, seperti yang saya kemukakan pada akhir artikel sebelumnya, Pancasila Untuk Semua, Adakah?, bahwasannya semangat memperjuangkan dan mengawal inklusifitas tidak akan ada hentinya. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas merupakan manifestasi dari keberlangsungan proses dialektika terhadap paradikma tentang penyandang disabilitas.

Perlunya Dialektika Demi Penguatan Akomodasi Hak Penyandang Disabilitas

Seperti halnya aktivis bangsa dalam melawan kolonialisme dan imperialisme di Nusantara, para pemikir dan pegiat isu disabilitas terus berkreasi melalui corong-corong demokrasi. Atau, jika terlalu jauh, hal senada juga pernah digencarkan oleh R.A. Kartini dalam memperjuangkan Emansipasi Wanita di Indonesia. Kesetaraan gender pun tak terkecuali disuarakan dalam merombak sistem patriarkis yang memarjinalisasi kaum perempuan.

Semua itu merupakan antitesis terhadap sistem yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Yah, meninjau perkembangan filsafat yang merupakan cara pandang manusia terhadap sesuatu telah melahirkan berbagai gagasan revolusioner, maka benang merah dapat kita tarik pada kebenaran akan adanya manusia yang peka, kritis, dan inovatif terhadap lingkungan sekitarnya.

Nah, sebelumnya saya telah berpendapat bahwa bagi saya, Pancasila adalah alasan terhadap perlunya akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Keadilan, partisipasi seluruh elemen masyarakat, integrasi Nasional, martabat kemanusiaan yang dijunjung tinggi dan hak memeluk agama masing-masing menjadi orientasi lingkungan yang inklusif di Indonesia. Sehingga, sekolah yang merupakan penyelenggara pendidikan yang memanusiakan manusia dan berasaskan Pancasila, tak ada alasan untuk menolak calon siswa disabilitas dengan alasan tidak adanya fasilitas penunjang dan perbedaan kemampuan.

Fasilitas yang tadinya belum dapat mengakomodasi kebutuhan siswa disabilitas mengapa tidak dipertimbangkan untuk masuk ke dalam pembahasan rencana pembiayaan pembangunan sekolah? Setidaknya, adanya penganggaran pembangunan aksesibilitas dapat membuat lingkungan menjadi ramah terhadap semua kalangan siswa. Setiap siswa kemudian dapat mengakses sarana dan prasarana penunjang pembelajaran di sekolah, termasuk siswa disabilitas.

Gambaran Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas

Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No. 8 Tahun 2016, menyatakan bahwa "Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak". Memang cukup riskan untuk melahirkan sebuah persepsi negatif terhadap penyandang disabilitas. Keterbatasan kerap kali diidentikkan dengan ketidakmampuan. Sehingga, timbullah stigma bahwasannya penyandang disabilitas tidak mampu dalam menyelesaikan pekerjaan tertentu.

Anggapan ketidakmandirian dan ketidaknormalan pun ikut melatarbelakangi paradikma bahwa penyandang disabilitas tidak mempunyai kompetensi. Melihat perbedaan cara yang diterapkan oleh penyandang disabilitas dalam beraktivitas berhasil melahirkan label "Orang Tidak Normal".

Seorang penyandang disabilitas tidak dapat dipisahkan dengan alat bantu dan lingkungan yang ramah baginya. Mereka membutuhkan aksesibilitas untuk beraktivitas dengan cara yang berbeda. Jika tunanetra membutuhkan tongkat putih untuk bermobilisasi, tunadaksa membutuhkan kursi roda, protesa, atau tongkat. Sementara itu kawan-kawan tuli juga membutuhkan bahasa isyarat untuk berinteraksi. Tak terkecuali bagi kawan-kawan yang membutuhkan metode dan pola tertentu dalam berinteraksi dan beraktivitas, seperti kesulitan belajar, lambatnya kemampuan dalam memahami sesuatu, bahkan kecemasan atau halusinasi tinggi.

Perbedaan cara-cara ini tentu bukanlah sesuatu yang berada di luar garis kenormalan. Bahkan apabila kedua variabel penunjang aktivitas penyandang disabilitas yakni alat bantu dan lingkungan yang ramah, kemandirian bagi penyandang disabilitas akan tercapai. Sehingga, kenormalan subjektif akan dibatalkan dengan lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua kalangan.

Lagi-lagi terkait dengan perkembangan teknologi yang tentunya disebabkan oleh pola pikir dialektis, maka lahirlah berbagai perangkat lunak yang memberikan akses kepada penyandang disabilitas. Contohnya aplikasi pembaca layar untuk tunanetra dan aplikasi pengkonversi suara ke dalam bentuk teks untuk kawan-kawan tuli baik pada komputer maupun gawai. Hal ini tentu relevan dengan perkembangan sistem pembelajaran yang mengadopsi teknologi sebagai media seperti aplikasi kelas virtual, surat elektronik dan video konferensi. Harusnya, seorang guru tidak lagi memprioritaskan pengumpulan tugas secara fisik, melainkan memberikan kesempatan kepada pengguna pembaca layar untuk mengumpulkan tugas melalui surel atau kelas virtual.

Sebenarnya ada satu lagi paradikma yang menurut saya mesti diperbaiki. Adanya tingkatan disabilitas membuat perbandingan antara jenis kedisabilitasan satu dengan yang lainnya. Hal semacam ini seringkali dijumpai dalam penerimaan siswa baru maupun tenaga kerja. Dalam mekanismenya, calon pendaftar disabilitas diharuskan membawa Sura Keterangan Disabilitas yang diperoleh dari lembaga kesehatan. Hal ini untuk menerangkan kategori disabilitas apakah termasuk disabilitas berat, sedang, atau ringan.

Bagi saya, dalam mengukur kompetensi penyandang disabilitas tidaklah perlu disertai dengan asesmen medik. Apalagi, adanya hierarki disabilitas berat, sedang dan ringan bisa memicu komparasi kemampuan antara jenis kedisabilitasan satu dengan yang lainnya. Padahal, dalam setiap ragam disabilitas masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda. Pengguna bahasa isyarat tidaklah menjadi disabilitas ringan karena dapat melihat , sebaliknya pengguna tongkat putih tidaklah menjadi disabilitas berat atau sedang karena ketidakmampuan visual. Kompetensi seharusnya bisa diuji langsung sesuai prosedur secara umum.

Sosialisasi Pemberdayaan Penyandang Disabilitas

Dalam upaya meningkatkan Sumber Daya Manusia bagi penyandang disabilitas, langkah sosialisasi tentang rehabilitasi dan pemberdayaan penyandang disabilitas juga perlu dilakukan di tengah masyarakat. Informasi tentang lembaga pelatihan, pemberdayaan dan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas sebaiknya diluaskan melalui pemanfaatan media. Karena tak jarang masyarakat mengetahui tentang keberadaan lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan penyandang disabilitas.

Sangatlah penting memberikan gambaran tentang wawasan disabilitas kepada orang tua dengan anak disabilitas. Karena justru orang tualah yang terkadang menjadi kendala ketika anak disabilitas akan masuk ke sekolah ataupun baru akan menjalani rehabilitasi. Rasa cemas mungkin hal yang wajar terjadi. Namun berdasarkan hasil riset bahwa dampak psikologis kepada anak disabilitas yang hanya tinggal di rumah dan tidak mengenal dunia luar akan sangat berpotensi.

Hal senada juga kerap terjadi tatkala calon siswa disabilitas ingin mendaftarkan diri ke sekolah. Kekhawatiran akan keamanan anak disabilitas biasa menjadi pertimbangan orang tua dalam mengizinkan anaknya untuk bersekolah.

Hambatan-hambatan seperti inilah yang biasa terjadi sehingga mengurangi kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam mengaktualisasikan diri di tenggah masyarakat. Padahal, keberadaan penyandang disabilitas yang kompeten secara kuantitas menurut saya dapat menjadi penguat dalam pemenuhan dan pelayanan hak kepada penyandang disabilitas.

Upaya sosialisasi tidaklah menjadi tugas dan tanggungjawab satu pihak saja. Melainkan seluruh elemen mempunyai peranan penting. Misalnya Iklan Layanan Masyarakat yang disampaikan oleh Kemensos terkait Balai Rehabilitasi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan adfokasi yang dilakukan oleh ormas disabilitas kepada orang tua dengan anak disabilitas yang belum mengizinkan anaknya bersekolah atau menjalani rehabilitasi.

Itulah sekiranya hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pemenuhan dan pelayanan hak penyandang disabilitas. Apa yang saya paparkan hanyalah gagasan pribadi berdasarkan pengalaman dan tinjauan dari berbagai gejala sosial yang dialami oleh kawan-kawan disabilitas. Perbedaan pemikiran bisa saja terjadi di antara kita dan saya harapkan diskusi bisa berjalan melalui kolom komentar di bawah. Saya Ismail Naharuddin, semoga bermanfaat...!

1 comment for "Sepak Terjang Dalam Peningkatan Kompetensi Penyandang Disabilitas"

  1. Sistem pendidikan inklusif memang masih harus terus diperjuangkan oleh yang peduli. Terlebih ada pandemi saat ini. Semoga saja bisa karena masih ada yang peduli meski tak banyak.

    Salam.

    ReplyDelete
Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!