Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pejuang Tugas Akhir, Melawan Malas Yang Menghegemoni!

Berada di semester akhir bagi mahasiswa sepertinya berpeluang memberikan beban tersendiri. Satu momok yang seolah bisa menghantarkan petir di hingga di atas kepala ialah tugas akhir. Permasalahannya bukan seberapa cerdas kita untuk mengerjakannya, tapi sejauh mana kemampuan kita untuk menyelesaikannya. Bagi mahasiswa yang segala waktunya pada hakikatnya telah ia dedikasikan untuk perkuliahan mungkin tidak menjadi soal. Tapi beda cerita bagi mereka yang setengah mahasiswa dan setengahnya lagi aktivis, kesibukan di luar kelas terkadang menjadi prioritas ketimbang mengerjakan tuntutan akademik yang sebenarnya tinggal beberapa persen lagi. Hal tersebutlah yang kemudian menimpa saya pribadi dan mungkin bakalan menjadi coretan selanjutnya yang memenuhi kolom ini.

Sepertinya pada hakikatnya manusia kebanyakan akan mendahulukan sesuatu yang menarik baginya. Karena, bukan sekadar ngoceh saja. Saya pribadi berpendapat kebaikan untuk orang banyak sudah menjadi satu kesenangan tersendiri yang saya dapatkan. Membantu kawan-kawan, mengadakan kegiatan pelatihan, ikut dalam acara diskusi, webinar dan sebagainya. Satu kesenangan ini nyatanya membuat saya luput dari tugas saya dalam mempersiapkan judul penelitian di kampus. Atau mungkin kesenangan tersebut adalah pelarian dari beban yang seperti saya jelaskan di awal. Jadinya, waktu yang sebenarnya tepat untuk mempersiapkan itu terlanjur berlalu tanpa disadari.

Nanti jika sudah lapar, baru makan. Mungkin begitu ibarat yang tepat untuk menggambarkan kemalasan saya di atas. Waktu yang mepet dari target kuliah, pertanyaan yang dilunurkan oleh teman-teman dekat dan keluarga, "Sudah semester berapa?", "Bagaimana proposal penelitian?", ditambah lagi desakan dari orang tua untuk segera mengerjakan tugas akhir seolah membawa saya ke rezim kolonial. Sistem kerja paksa yang menuntut saya untuk bisa mencapai gelar sarjana di pertengahan tahun sepertinya berhasil mengintervensi kemalasan saya.

Namun, sebesar apapun semangat yang muncul akibat kekuatan dari luar tersebut, tidaklah menjamin segala upaya akan lurus-lurus saja. Berbagai rintangan tentu muncul mewarnai perjuangan melawan rasa malas yang menghegemoni ini. Perhatikan beberapa hal yang menjadi suka duka dalam menyusun tugas akhir berikut:


1. Bimbang Menentukan Judul Penelitian

Berada dalam posisi ini mengambil waktu yang tidak sebentar bagi saya. Yang saya amati, judul penelitian harus semenarik mungkin dan berisi topik yang tengah hangat di masyarakat. Jadinya, saya harus menyesuaikan hal-hal yang menjadi trend dengan kemampuan dan potensi yang saya miliki untuk menyelesaikan penelitian. Bagi saya sendiri hal ini tentu tidak mudah. Apalagi judul yang diajukan harus unik dan bukan penelitian yang biasa-biasa saja.

2. Sulitnya Komunikasi dengan Dosen

Judul dan konsep penelitian telah siap. Tapi tidak semudah itu dong. Judul tersebut harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke dosen, minimal penasehat akademik (PA). Apabila telah di-acc, maka kita dapat mengajukannya ke Kaprodi untuk dibuatkan SK pembimbing dan penguji. Prosesnya biasanya memerlukan waktu 1-2 atau bisa saja seminggu.

Yang memainkan peran di sini bukan lagi kita, namun birokrasi. Beruntung kalau dosennya bagus, SKnya bisa langsung terbit. Tapi kalau dosennya sibuk, trus beliaunya lupa. Ditambah pola komunikasi tidak sebebas kalau bicara sama teman sendiri. Karena terkadang ada dosen yang tidak ingin dihubungi melalui seluler, bicara di kampus saja. AAtau dosennya milenial, tapi sulit dihubungi.

Hambatan komunikasi ini juga bisa saja terjadi saat bimbingan. Okelah judul sudah di-acc, SK sudah keluar, tapi susahnya bimbingan minta ampun. Apalagi di tengah pandemi. Beberapa dosen jadinya jarang ke kampus karena harus mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Okelah dengan adanya pandemi, maka bimbingan secara online kini diterapkan. Tapi tidak semulus yang dikira seperti bimbingan secara tatap muka. Disetornya hari ini, dibalasnya besok. Untung-untung kalau langsung direvisi. Tapi kalau balasannya seperti ini, "Oke, saya baca dulu ya!". Bisa-bisa direvisinya 2-3 hari ke depan. Itupun harus selalu difoll-up.

3. Banyaknya Berkas Yang Harus Dilengkapi

Sebelum mengajukan seminar proposal, ada berbagai macam berkas yang harus dilengkapi. Beberapa di antaranya seperti Halaman Pengesahan, KRS, Bukti Pembayaran, Sertifikat, dll. Yang mana berkas ini tidak hanya sekadar dilengkapi, tapi beberapa di antaranya memerlukan persetujuan dari dosen yang berwenang. Seperti KPS, Dekan, dan pembimbing 1 maupun 2. Dari sini, dimulailah sepak terjang dalam mengejar tanda tangan dosen. Pahit dan manisnya berada dalam posisi ini seolah menjadi satu ibarat peribahasa "bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian".

4. Menunggu Antrean Seminar

Dalam ujian seminar proposal, tidak ucuk-ucuk mengajukan, disetujui dan langsung dilaksanakan. Tapi ada mekanismenya. Penjadwalan seminar harus memperhatikan jumlah mahasiswa yang akan mengikuti seminar. Kalau tidak ada mahasiswa lain yang mengajukan seminar, harus menunggu dulu sampai kuota peserta sudah dianggap mencukupi. Dalam fase ini saya pribadi merasa harap-harap cemas. "Kira-kira masih lama tidak yah?", atau "bisakah saya mencapai target waktu yang sudah saya tentukan?".

5. Teknis Pengumpulan Data

Data kuantitatif maupun kualitatif mempunyai jangka waktu tersendiri untuk dikumpulkan. Tergantung dari seberapa banyak jumlah responden. Selain itu, khusus untuk metode wawancara yang harus bertatap muka dengan informan juga harus memperhatikan kesempatan informan. Saya sendiri, dalam penelitian yang saya ajukan merencanakan informan dengan jumlah yang tidak sedikit. Ditambah lagi sebagian dari mereka belum dapat saya dapatkan keberadaannya. Cukup beresiko mungkin tapi biarlah hal tersebut saya jadikan sebagai tantangan tersendiri dalam penelitian sederhana saya.


Menjadi mahasiswa memang sudah sepatutnya tidak melalaikan tugas-tugas penting dalam aspek akademis. Tapi mejadi mahasiswa yang aplikatif dan dan eksis bagi kehidupan sosial juga perlu. Makanya mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial yang baik. Saya pribadi sadar bahwa manajemen waktu merupakan hal yang sangat penting guna mengetahui kapan kita harus expert untuk kuliah, dan kapan kita terjun menyapa lingkungan sosial.

Adapun jika saya disuruh memilih, mengedepankan akademik atau sosial, maka pasti saya akan menjawab target. Target sangat menentukan ke arah mana kita berkendara. Olehnya itu saya cenderung memilih menjadi mahasiswa yang mempunyai target, tanggap terhadap gejala sosial dan berkemampuan manajerial.

Post a Comment for "Pejuang Tugas Akhir, Melawan Malas Yang Menghegemoni!"

Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!