Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Inklusifitas Dalam Ibadah, Nyata Ataukah Maya?

Penulis: Andi Zulfajrin Syam

Setiap tindak-tanduk manusia, pastilah memiliki dasar yang mengilhaminya. Begitu pula dalam peribadatan, setiap manusia memiliki agama, kepercayaan, dan keyakinannya masing-masing. Secara normatif, kita semua mempercayai, bahwa setiap agama yang ada  di dunia ini adalah mengajarkan tentang belas kasih, kebajikan, menolong sesama, dan yang paling penting adalah menghargai hakikat manusia dan  kemanusiaan itu sendiri. Pada hakikatnya setiap insan yang mendeklarasikan diri sebagai orang  beriman, pastilah akan selalu berusaha  berbuat kebaikan, dan sebisa mungkin membantu mereka yang membutuhkan. Kebaikan-kebaikan tersebut biasanya termanifestasi dalam bentuk sumbangan sosial, bakti sosial, sedekah, dan lain sebagainya.

Gambar Masjid

Akan tetapi, tidak banyak tokoh-tokoh agama yang memikirkan tentang kebutuhan spiritual kaum difabel. Dapat kita lihat di sekitar kita, bahwa masih minimnya kesadaran para tokoh agama tentang aksesiblitas tempat peribadatan. Masih sangat banyak tempat ibadah yang jauh dari kata aksesibel. Karena ketidak aksesan tempat-tempat peribadatan tersebut, maka tidak jarang pula membuat sebagian penyandang difabel akhirnya merasa kesulitan untuk melakukan ritual ibadah di rumah ibadah. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian di tahun 2017,  yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya dengan didukung oleh Program PEDULI – TAF,    di 3 kota/kabupaten di Jawa Timur yaitu Sampang, Jombang, dan Tulungagung.

Penelitian tersebut berfokus pada aksesibilitas dan pandangan kaum agamawan dalam melihat penyandang disabilitas yang dipetakan dalam empat hal, sebagai berikut :

  1. Aksesibilitas infrastruktur tempat ibadah (masjid) bagi penyandang disabilitas
  2. Keterlibatan masyarakat Islam dengan penyandang disabilitas
  3. Penerimaan masyarakat Islam terhadap penyandang disabilitas
  4. Sikap masyarakat Islam terhadap penyandang disabilitas

Sehubungan dengan infrastruktur yang aksesibel bagi  tempat ibadah (masjid), terdapat 75 masjid di Jombang, Tulungagung, dan Sampang yang menjadi objek survey dalam penelitian ini. Termasuk dalam masjid-masjid tersebut adalah masjid agung/jamik kota/kabupaten, yaitu Masjid Agung Baitul Mukminin Jombang, Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung, dan Masjid Agung/Jamik Sampang. Selain itu dilakukan survey terhadap masjid-masjid yang ada di lingkungan pondok pesantren. Secara umum berikut adalah pemaparan dari hasil survei penelitian ini yang berfokus pada enam aspek pengamatan:

a. Aspek Pintu

Peraturan Menteri PU Nomor 30 Tahun 2006 menetapkan bahwa pintu utama harus memiliki bukaan sebesar minimal 90 cm. Ditemukan  dalam survey ini hampir seluruh masjid telah memenuhi standar tersebut (90.67%) Akan tetapi, terdapat juga sebagian kecil masjid  yang tidak sesuai dan keadaannya kurang memadai. Dalam persentase yang lebih kecil (66.67%), masjid memiliki bukaan sebesar minimal 80 cm untuk pintu-pintu lain yang kurang penting. Di sisi lain, hal ini masih kurang terimbangi dengan peletakan tekstur yang kasar atau permukaan yang tidak licin di sekitar pintu. Hanya 44 persen masjid yang sudah memperhatikan peletakan tersebut.

b. Aspek Tangga

Sebanyak 36 persen masjid telah memperhatikan tingkat kemiringan standar, yaitu kurang dari 60 derajat. Hanya 48 persen masjid yang memiliki lebar tangga ideal. Ditambah lagi hanya sebagian kecil masjid (24%) yang meletakkan pegangan tangan (handrail) pada tangga.

c. Aspek Parkir

Hanya 4 persen atau 3 dari 75 masjid menurut survei penelitian ini  yang telah menyediakan slot parkir untuk penyandang disabilitas, dan satu di antaranya belum memenuhi  standarisasi Permen PU, karena tidak dilengkapi dengan peletakan trotoar di sekitar parkir penyandang disabilitas. Walaupun demikian, peletakan lokasi parkir umum di masjid cukup ideal karena sebagian besar (86.67%) jaraknya berdekatan dengan masjid dan 61.33 persen di antaranya memiliki luas yang cukup memadai untuk keluar-masuknya penyandang disabilitas dari kendaraan.

d. Aspek Markah

Penanda yang terdapat di masjid kebanyakan berkaitan dengan petunjuk lokasi, misalnya tempat wudhu, toilet, parkir, dan perpustakaan. Sebanyak 38.67 persen telah memberikan marka walau belum meliputi seluruh lokasi yang ada di masjid, namun baru 30.67 persen yang telah sesuai untuk kebutuhan penyandang disabilitas dalam mengidentifikasikan lokasi terkait dengan besar huruf dan penempatan marka. Hanya 6.67 persen yang memberikan simbol-simbol aksesibilitas di lingkungan masjid. Tidak ada masjid yang menjadi objek survei yang memiliki guiding block sebagai marka yang penting bagi kemandirian mobilitas penyandang disabilitas netra.

e. Aspek Toilet

Sebanyak 46.67 persen masjid memberikan penanda letak toilet walaupun tidak semua toilet bisa digunakan oleh penyandang disabilitas. 4 persen atau 3 dari 75 masjid memiliki toilet berdesain universal sesuai dengan Permen PU dan sebanyak 10.67 persen toilet memiliki ketinggian kloset duduk yang sesuai dengan standar. Sebanyak 50.67 persen masjid memiliki bahan lantai yang tidak licin, namun baru 33.33 persen yang memenuhi standar. Sebanyak 32 persen toilet masjid memiliki pintu sesuai dengan standar, namun hanya 20 persen yang memenuhi standar untuk kemudahan buka tutup pintunya. 10.67 persen toilet masjid memiliki kecukupan yang memadai untuk ruang gerak penyandang disabilitas di dalamnya, namun baru 9.33 persen toilet yang menggunakan keran sistem pengungkit. 13.3 persen telah memenuhi standar dalam peletakan tissue dan perlengkapan kamar mandi lainnya. Sudah ada masjid yang memiliki wastafel khusus (1.33%) dan handrail (2.67%) di toilet, namun belum ada yang sesuai dengan standar dalam Permen PU.

f. Aspek Tempat Wudhu

Tempat wudhu merupakan kebutuhan yang sangat krusial di masjid, namun hanya 4 persen tempat wudhu yang cukup leluasa digunakan untuk pengguna kursi roda. 42.67 persen masjid telah meletakkan keran wudhu yang aksesibel. Terdapat 6.67 persen atau 5 dari 75 persen yang memiliki handrail, namun hanya 4 persen atau 3 dari 75 yang telah memenuhi standar.   Secara khusus Masjid Al Munawwar Tulungagung adalah masjid yang memiliki kesesuaian dengan standar yang ditetapkan oleh Permen PU No 6 Tahun 2003. Walau demikian, pemenuhan standarnya belum benar-benar memadai, karena belum adanya  akses parkir atau kamar mandi dan tempat wudhu yang disediakan untuk penyandang disabilitas. Fasilitas pegangan tangan belum ditempatkan di banyak area masjid, namun luasan, ramp, dan bukaan pintu di masjid tersebut cukup aksesibel dengan penyandang disabilitas.

Dari data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa baru sebagian kecil saja tempat ibadah yang ramah pada disabilitas, seolah-olah tempat ibadah yang ada hanya dirancang bagi mereka yang berkesemprunaan secara fisik. Padahal ketika kita berpikir dan menelaah lebih dalam lagi tentang hakikat keagamaan, pastilah kita akan menemukan teks-teks referensi keagamaan (Al-qur’an dan hadits) yang menganjurkan umatnya untuk menghargai manusia dan kemanusiaan itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah  akomodasi peribadatan yang memadai bagi para difabel. Selain itu, Masih banyaknya tempat ibadah yang tidak memiliki lift, masih kurangnya juru bahasa isyarat ketika tokoh agama menyampaikan ceramah/khutbahnya, dan rumitnya konstruksi bangunan  yang menyusahkan difabel untuk menghafal jalan menuju tempat peribadatan, membuat kebutuhan ritual keagamaan para difabel tidak dapat terakomodasi dengan baik.

Maka dari itu, diperlukannya pemikiran-pemikiran  futuristik yang komprehensif, adalah bahwa tempat peribadatan dewasa ini sudah seharusya aksesibel bagi semua orang, termasuk bagi para difabel. Karena tempat ibadah yang bagus dan megah, namun tidak bersifat terbuka bagi semua, menurut hembat saya adalah sebuah kesia-siaan. Tempat ibadah yang luas dan mewah, bila tak dapat didatangi oleh mereka yang difabel, menurut saya hanyalah suatu pajangan semata. Hakikatnya semua manusia ingin beribadah secara nyaman di tempat ibadah dengan akomodasi yang memadai, tapi jangan sampai hanya karena tempat ibadah  yang tidak aksesibel, membuat para difabel tidak dapat mengenali hakikat Tuhan dan ketuhanan itu sendiri.

Agama ada untuk manusia, maka dari itu, marilah para tokoh-tokoh agama berpikir bahwa sudah saatnya tempat ibadah bukan hanya simbol religiusitas semata, tetapi juga dapat menjadi titik awal terciptanya inklusifitas yang cerdas berdasarkan asas-asas sifat Tuhan yang mengasihi semua. Tuhan tak buta untuk melihat kesetaraan hambanya, dan Tuhan pun tak tuli untuk mendengar ratapan dan rintihan kaum-kaum yang termarjinalkan. Jangan sampai hanya karena keinginan memperindah  tempat ibadah  , namun  tidak cukup aksesibel, membuat kita semua lupa bahwa ada mereka, kaum  difabel yang juga butuh bercengkrama dengan Tuhan di tempat suci tersebut.

Tulisan ini dikutip dari buku "Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas" yang disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw.

Sumber:

  1. Bagaimana Fikih Disabilitas Menempatkan Kebijakan Publik? - Pusat Studi & Layanan Disabilitas
  2. Difabel Muslim Indonesia, Sejauh Mana Terpenuhi Hak-haknya? - Islam NU
  3. Masjid dan Mushola Ramah Disabilitas Masih Minim - Kabar Kota
Foto Andi Zulfajrin Syam

Sekilas Tentang Penulis

Hai, semua. assalamualaikum. Kenalin saya, Fajrin. Hobi saya membaca apa saja, menulis apa saja, mendengarkan apa saja, termasuk mendengarkan suara hati sendiri dan suara hati orang lain. Cita-cita saya tidak muluk-muluk. Asal bisa bermanfaat bagi sesama, menjadi orang kaya, dan matinya masuk syurga. itu sudah alhamdulillah banget. Bagi kawan-kawan, yang ingin mengenal saya lebih dekat. Silahkan tanya sama orang tua atau kekasih saya ya, wassalam. #Fajrin #Motivasi #Perenungan

1 comment for "Inklusifitas Dalam Ibadah, Nyata Ataukah Maya?"

Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!