Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Akankah Tunanetra Menerobos Dunia Kerja?

Sekian lama, corong aspirasi yang memperjuangkan hak bagi disabilitas didongakkan. Para aktivis sejak zaman purbakala, sebelum terbitnya regulasi UU No. 8 Tahun 2016 telah mulai bergerilya dengan birokrasi dalam mewujudkan kesetaraan bagi semua kalangan masyarakat. Salah satu di antara yang menjadi asbab perjuangan yakni persoalan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas.

Gambar Seseorang Mengetik di Atas Meja

Bagi yang membaca tulisan ini, tentu secara sadar akan mengakui bahwa persoalan ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat sakral. Hal ini karena pekerjaan memang merupakan jembatan menuju "Roma", kehidupan yang mana mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan juga mampu merangsang kebahagiaan batiniyah, karena telah menjadi tumpuan harapan untuk bisa bertahan di dunia yang serba keos ini.

Saya yakin di semua negara pasti memiliki permasalahan terkait ketenagakerjaan masing-masing. Angka pengangguran yang mungkin saja bisa menjadi satu aib ditangani dengan caranya sendiri-sendiri. Jangankan skala internasional, jika kita berbicara dalam lingkup negara kita tercinta saja, setiap daerah mempunyai otonomi yang memberikan kewenangan dalam mengurusi wilayahnya masing-masing. Bagaimana pemerintah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lain-lain dalam meminimalisir angka pengangguran. Jangankan pemerintah, pihak swasta pun sepertinya dihimbau untuk membuka lapangan pekerjaan yang sesuai. Regulasi yang mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan program yang dikenal dengan sebutan Corprate Social Responsibility (CSR) yang biasanya diaplikasikan melalui kegiatan peningkatan kualitas SDM baik bagi karyawan internal, maupun masyarakat luas.

Secara singkat, setiap orang memerlukan pekerjaan karena adanya tanggungan. Yah, semua orang. Tak terkecuali kawan-kawan disabilitas. Mungkin sebagian berpikir, mengapa disabilitas mempunyai tanggungan? Bukankah ada keluarga yang menanggulangi? Seberapa besar kebutuhan mereka sehingga jualah membutuhkan pekerjaan?

Secara tidak langsung, dengan pola pikir tersebut, keberadaan disabilitas tiba-tiba terpinggirkan. Sekiranya pembaca yang budiman telah memahami bahwa hal tersebut merupakan bentuk stigmatisasi kepada makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang jualah mempunyai hak asasi. Coba perhatikan saudara kita disabilitas yang telah berkeluarga dan mempunyai anak. Bukankah hal tersebut telah menjadi premis bahwa mereka juga mempunyai tuntutan? Sehingga, jika kita mengacu pada asumsi di awal tulisan ini di atas, setiap orang yang mempunyai tuntutan, harus memperoleh pekerjaan.

Bukan hanya karena soal tuntutan, tapi memang sudah menjadi hak setiap manusia untuk merencanakan karirnya masing-masing. Bukankah regulasi telah menitipkan pesan untuk mengakomodasi hak atas pekerjaan yang layak bagi setiap warga negara? Sehingga, semestinya tidak ada alasan lagi untuk beranggapan hal-hal yang bisa memarjinalkan sebagian masyarakat. Sebab sampai di sini kita telah memahami tak ada yang boleh meremehkan keberadaan kalangan satu dan lainnya.

Namun, jika kita bersedia untuk menoleh sedikit ke arah kaca realita saat ini, sepertinya problema dalam hal ketenagakerjaan bagi disabilitas masih terus bergejolak. Masih banyak dari kawan-kawan disabilitas yang belum tersentuh pekerjaan yang menjanjikan kehidupannya. Kesenjangan antara angka kebutuhan dan penghasilan yang masih jauh dari kata cukup. Beberapa lulusan sarjana disabilitas yang seharusnya siap kerja di bidangnya terpaksa memutar haluan dikarenakan tidak adanya peluang kerja yang memadai.

Sering kita temui, masih banyak kawan-kawan kita yang berkeringat memikul jualannya ke jalan-jalan, alias menjadi pedagang keliling. Yang mana jika kita telaah secara saksama, hal tersebut merupakan refleksi dari ketidakramahan lingkungan kerja terhadap disabilitas. Profesi yang seolah-olah menjadi identitas tunanetra itu merupakan bukti kurangnya pemberdayaan yang masif bagi disabilitas.

Dalam bidang ketenagakerjaan, tentu tidak serta merta hanya merujuk pada ketersediaan lapangan kerja. Namun, upaya rehabilitasi dan pembekalan keterampilan kerja juga menjadi satu instrumen di ranah ini. Pemberian pelatihan seperti menjahit, administrasi, memasak, menyulam, marketing dan sebagainya menjadi satu upaya dalam membenahi permasalahan ketenagakerjaan. Hal ini untuk mempersiapkan angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan para pemberi kerja.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah, framming profesi terhadap kawan-kawan disabilitas mengakibatkan sempitnya wawasan disabilitas dalam dunia kerja. Untuk lebih memahami hal ini, mari perhatikan berbagai unit yang berada di bawah naungan Kemsos. Di BRSPDSN misalnya, secara umum hanya terdapat beberapa keterampilan yang diberikan kepada penerima manfaat yang notabene adadlah disabilitas. Misalnya pijat, balrista, komputer, dan lain-lain. Hal ini tentu saja mempersempit jangkauan disabilitas itu sendiri dalam dunia kerja. Coba bandingkan dengan berbagai posisi yang tersedia di lapangan kerja. Berbagai lowongan di tiap-tiap perusahaan membutuhkan pekerja di bidang yang melebihi dari hanya sekadar keterampilan yang diajarkan di Balai.

Jangka waktu yang sangat terbatas dalam Balai Rehabilitasi seperti itu saya rasa kurang untuk menyiapkan angkatan kerja disabilitas yang beragam spesialis. Padahal, di luar sana perusahaan membuka kesempatan kerja yang spesifik seperti administrator, pramuniaga, technical, chef, dan sebagainya. Dalam kata lain, sinkronisasi yang kurang baik antara layanan pembekalan kerja dan instansi pemberi kerja.

Hal ini jangan sampai hanya akan membuang-buang tenaga, waktu dan keringat yang sia-sia. Tentu kita mau jebolan-jebolan Balai Rehabilitasi ataupun bangku kuliah mendapatkan kesempatan yang sesuai dengan bidangnya. Koordinasi sepertinya masih perlu dikembangkan lagi untuk membenahi hal ini. Adanya sinergi antara instansi yang berwenang memberikan pelatihan kepada disabilitas dengan sistem informasi ketenagakerjaan khususnya lowongan kerja yang tersedia di perusahaan. Atau paling tidak, Balai-Balai Rehabilitasi untuk disabilitas dapat kemudian bertransformasi menjadi Balai Latihan Kerja yang inklusif.

Pada intinya adalah, hilangkan framming profesi terhadap disabilitas. Berikan wawasan ketenagakerjaan yang sebenar-benarnya yang sesuai dengan permintaan instansi. Perlunya bidang keterampilan yang tersedia di Balai-Balai pelatihan selalu diperbaharui. Sebagai aplikasinya, koordinasi antara HRD perusahaan dengan balai pelatihan semestinya terjalin erat.

Mengapa pembekalan keterampilan kerja yang sesuai permintaan instansi sangat perlu diupayakan? Yang pertama adalah, mengingat kualitas SDM di kalangan disabilitas nampaknya masih belum memadai. Sehingga, menjadi alasan bagi instansi untuk meragukan keterampilan disabilitas. Mungkin hal yang lumrah ketika perusahaan masih ragu untuk mempekerjakan disabilitas. Namun, tentu tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Jika kita benar sungguh-sungguh mengimplementasikan garis regulasi tentang hak asasi di bidang pekerjaan, terobosan-terobosan dalam upaya meningkatkan wawasan ketenagakerjaan bagi disabilitas harus digencarkan.

Apa yang kurang kalau kita berbicara soal regulasi? Amanah yang diberikan kepada perusahaan dan pemerintah untuk mempekerjakan disabilitas, memberikan pelatihan untuk mengasah keterampilan disabilitas, sampai pada akomodasi yang layak di bidang pekerjaan sudah tercatat dalam pedoman bernegara Republik Indonesia. Kita hanya tinggal menjalankan. Bukan memikirkan.

Yang kedua dalam alasan harus memberikan pembekalan keterampilan yang sesuai dengan permintaan instansi adalah, agar terciptanya kesinambungan antara disabilitas yang siap kerja dengan lowongan yang disediakan. Selama ini, jika kita merujuk pada rehabilitasi dalam Balai khusus pembinaan tunanetra, hanya bidang-bidang keterampilan tertentu saja yang disodorkan kepada mereka penerima manfaat dalam balai tersebut. Menurut saya, bidang-bidang keterampilan yang ada tersebut kurang berkesinambungan dengan bidang pekerjaan yang dibuka. Apalagi, waktu pelatihan sepertinya tidak cukup untuk menghatamkan keterampilan yang ditekuni selama pelatihan.

Hal ini lagi-lagi yang menjadi asbabnya adalah, persoalan paradikma. Konklusi yang bersifat subjektifitas dan tidak melibatkan mereka yang berkaitan langsung di dalamnya. Tanpa dibekali dengan wawasan kedisabilitasan yang open minded. Coba kita sesekali jalan-jalan ke asrama tunanetra. Perhatikan bahwa bakat dan minat mereka sangat beragam. Tidak sebatas balrista, spa, dan lain-lain. Berikan akomodasi kepada mereka, tunanetra yang andal membuat kerajinan, membentuk lemari dari kayu, memasak, membuat kue, bersastra, bermusik, menjadi admin, berbicara di depan umum, bahkan menjadi jurnalis. Keberagaman bakat dan minat itu seharusnya menjadi tolok ukur dari pembenahan keterampilan mereka.

Akibat dari framming profesi terhadap disabilitas ini adalah, munculnya anggapan yang menjadikan profesi-profesi yang ada tersebut menjadi bahan identifikasi bagi disabilitas. Sehingga kita sendirilah yang mempersempit peluang kerja bagi disabilitas.

Saat ini kita mungkin sudah terbiasa mendengar kawan-kawan tunanetra yang memasuki bangku perkuliahan. Tentunya dengan harapan, mereka menjadi jebolan yang mampu menerobos gerbang dunia kerja yang kian ragamnya. Untuk beberapa bidang tertentu, saat ini memang sudah ramah dengan keberadaan disabilitas. Misalnya bidang keguruan, yang menjadi mayoritas pilihan kawan-kawan disabilitas netra (penglihatan). Hal ini jangan sampai mirip-mirip seperti apa yang tertuang dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Framming profesi, asumsi, hingga stigmatisasi. Bakat dan minat kawan-kawan tunanetra sebenarnya tidak sebatas hanya di situ-situ saja.

Banyak dari mereka yang sebenarnya berminat dalam bidang yang lainnya, seperti penyiaran, publikasi, administrasi, dan sebagainya. Namun, keragu-raguan terhadap lingkungan yang belum aksesibel bagi mereka terpaksa membuat mereka memalingkan wajah ke arah bidang yang menurut mereka aman. Yang mana bidang tersebut juga mempunyai keterbatasan muatan, sekaligus melekat yang kemudian seolah-olah menjadi identik dengan tunanetra.

Pengalaman saya saja. Suatu saat saya diterima menjadi wartawan di salah satu media online. Satu kesyukuran saat pimpinan redaksi menyambut baik lamaran seorang tunanetra. Hanya saja, muncul beberapa hambatan tatkala ia mencoba untuk memberikan ruang kepada saya untuk bekerja. Dengan cara sendiri, saya kemudian meliput peristiwa untuk diterbitkan melalui media yang saya tempati bekerja. Cara tersebut sekiranya kurang lumrah dalam konteks profesi yang saya geluti saat itu. Semua dikarenakan perusahaan belum memberikan akomodasi yang mampu menunjang saya untuk bekerja sesuai job description profesi tersebut.

Saya tidak menyalahkan pihak perusahaan. Namun di sinilah tempat saya untuk bersuara. Baik kepada pemerintah, pihak-pihak yang berwenang dalam konteks ketenagakerjaan di Republik tercinta ini. Maka hal selanjutnya yang sepertinya membutuhkan perhatian dalam hal pemenuhan hak pekerjaan bagi disabilitas adalah, pemberian akomodasi sesuai kebutuhan mereka tatkala bekerja. Saya rasa dalam hal ini sinergi antara pihak pemerintah dengan swasta sangat diperlukan. Seperti pemberian hibah kepada perusahaan yang telah membukakan kesempatan bagi disabilitas misalnya. Atau dengan cara lainnya yang merupakan hasil diskusi selanjutnya antara pihak-pihak terkait hal ini. Mulai dari instansi pemberi kerja, pemangku kebijakan, sampai organisasi penyandang disabilitas itu sendiri.

Yah, hal ini berkaitan dengan soal anggaran. Anggaran yang berpihak untuk kepentingan disabilitas, yang tentunya berlandaskan asas kemajuan dan kesejahteraan bagi disabilitas. Mungkin benar jika ada anggapan bahwa, kesejahteraan itu mahal harganya. Tapi, bukankah dengan kesejahteraan itu, malah akan berdampak pada kebangkitan ekonomi jua? ***

1 comment for "Akankah Tunanetra Menerobos Dunia Kerja?"

  1. mantap, bro. lanjutkan terus menulis dan selalulah suarakan kesetaraan dalam semua lini!

    ReplyDelete
Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!