Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Bepergian Sendiri ( Independen Travel )

Penulis: Sujono Said

Tulisan ini adalah catatan penulis tentang perjalanannya pulang kampungng dari Makassar yang berjuluk kota daeng menuju selayar yang berjuluk tanadoang pada hari ahad 20 juni 2021 dalam rangka mengisi liburan sebagai anak sekolah. Eh sebagai yang pernah sekolah dan mengajar anak sekolah serta mengejar anak yang pernah sekolah menuju rumah mertua, Aamiin?.

Gambar Suasana Perjalanan ke Selayar

Sebagai pengingat bagi para pentolan SLB di seluruh Indonesia, sekaligus sebagai pengetahuan bagi masyarakat umum yang sempat melakukan visitasi pada web tempat tulisan ini dipublikasikan, bahwa judul diatas adalah bab yang membahas tentang bagaimana tunanetra melakukan perjalanan secara mandiri yang diajarkan dalam mata pelajaran OM ( ORIENTASI DAN MOBILITAS ) di SLB pada tingkat SMP. Dalam tulisan ini, penulis akan bercerita banyak hal, terkait kita sebagai disabilitas wabil khusus sebagai tunanetra yang istilah milenialnya dikenal dengan difabel visual (DIVI). Semoga tulisan ini juga menjadi produk pengetahuan bagi masyarakat Indonesia dalam memperlakui keluarga yang mengalami disabilitas serta masyarakat disabilitas sekitar yang bermukim di lingkungan mereka.

Nah, penulis pun akan memulai dari cerita tentang langit biru. Karena di sana, harapan dan impian, hehehe... Nah, Begini! Ketika penulis meminta diuruskan mobil travel dari Makassar ke selayar kepada adik. Dalam pembicaraan, penulis meminta agar mengkomunikasikan kepada supir untuk mengantar penulis naik ke kapal veri. Lantaran mobil travel hanya sampai pelabuhan bira Kab. Bulukkumba, dan diselayar akan disiapkan mobil jemput. Alhamdulillah, semua terselesaikan dengan baik, termasuk dengan supir jemput yang telah menunggu di pelabuhan Selayar. Namun, apa yang terjadi saat akan naik ke kapal veri lantai 2 sebagai tunanetra? Nah, di sini mungkin menjadi masalah bagi sebagian dari kita.

Tapi, semua bergantung pada diri, nasib, dan kemampuan kita dalam bersikap. Begini! Saat penulis sampai ke lantai 2, dengan menggunakan tongkat putih, tak ada seorang pun yang membantu penulis untuk mencari kursi kosong untuk penulis. Akhirnya, penulis mencari sendiri, dan Alhamdulillah dapat. Nah, ketika kapal telah sampai di pelabuhan penyeberangan pamatata Selayar, penulis dengan tongkat putih melakukan upaya turun tangga sendirian dari lantai 2 kapal veri. Ketika secara tidak sengaja tongkat penulis terbentur mengenai kaki seorang penumpang yang berdiri di tangga kapal, sambil berujar, "Tabe (permisi)." Ia hanya bergeser dan tidak membantu penulis turun. Tapi, penulis tetap bersangka baik karena mungkin ia juga banyak barang bawaan atau apalah. Tapi, kalau tunanetra lain, mungkin akan melakukan respon yang beragam mulai dari memupuk rasa trauma yang mendalam, hingga meminta advokasi lembaga pergerakan disabilitas dengan ASDP Selayar.

Bagi penulis, memupuk rasa trauma yang mendalam justeru akan membuat kita tak akan berkelana kemana-mana. Yang benar adalah, ini menurut kacamata penulis, komunikasi adalah langkah awal dari segalanya selama semua masih boleh dikomunikasikan seperti yang terjadi antara penulis dengan pemilik jasa travel dan mereka para supir yang membawa penulis sampai ke selayar dengan selamat sentausa.

Karena, advokasi itu akan menjadi jalan terakhir. Daripada kita melakukan langkah advokasi sementara semua tak dapat dipertanggungjawabkan. Justeru akan mencoreng nama dan reputasi kita sebagai seorang difabel. Dengan berkomunikasi, kita memiliki kesempatan emas untuk menjelaskan tentang diri kita kepada khalayak. Mengenai advokasi, itu adalah jalan akhir untuk melakukan sebuah perjuangan.

Mengenai hal ini, Penulis ingin menyimpulkan tentang kondisi di pelabuhan seperti pelabuhan bau-bau atau pelabuhan Muna sultra. Mungkinn karena tunanetra dari bau-bau maupun muna banyak yang melakukan mobilitas ke Makassar hingga bandung. Sehingga, petugas pelabuhan banyak yang memiliki kepedulian terhadap tunanetra pun juga dengan masyarakat dalam hal ini adalah penumpang kapal. Sedangkan Bandara Sultan Hasanuddin atau pelabuhan Soekarno, itu tak akan penulis jadikan sebagai komparatif information karena mereka adalah pelabuhan yang berskala besar. Kalau pelabuhan soekarno, sudah ramah disabilitas sejak lama. Karena, mereka sering secara rombongan mengikuti kegiatan berskala nasional dengan tumpangan kapal laut. Sedang Bandara Sultan Hasanuddin, ia menjadi ramah difabel setelah banyak difabel melalui penolakan naik pesawat gegara tak berpendamping awas, dan kebijakan tak ramah. Ini advokasinya juga berjalan panjang namun membuahkan hasil yang maksimal.

Foto Sujono Said

Sekilas Tentang Penulis

Nama sujono said. Tempat tanggal lahir Selayar, 21 Februari 1987. Lebih senang dipanggil kak jono sejak mahasiswa sampai kakek-kakek. Hobi menulis, membaca, ngopi dan karaokean.

Post a Comment for "Bepergian Sendiri ( Independen Travel )"

Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!