Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Catatan Demokrasi Indonesia, Sebuah Refleksi Atas Beredarnya Wacana 3 Periode

Negara kita, Indonesia adalah negara yang masyarakatnya berasal dari latar belakang yang beragam. Bayangkan saja dari berbagai pulau-pulau yang terpisah ini, kita dapat menyatu dalam satu lingkar ketatanegaraan yang tercatat secara administratif sebagai Negara Indonesia. Di pulau Sulawesi kita mengenal berbagai Provinsi di dalamnya, seperti Sulawesi Utara, Barat, Tenggara, Tengah Selatan dan Gorontalo. Yang kemudian dari masing-masing Provinsi tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa suku dan budaya yang berbeda. Kita mengenal suku Bugis, Makassar, Toraja dan Duri serta budaya Siri' Na Pacce, Mappasikelebbi' dan Mappasikainga' dari Sulawesi Selatan. Demikian beragamnya dari Provinsi yang telah disebutkan sebelumnya. Belum lagi wilayah yang ada di setiap pulau di seluruh Indonesia. Lantas kita akan membenarkan bahwa kita terdiri dari berbagai ciri khas yang berbeda.

Suasana Ziarah Tahun Ini

Sungguh luar biasa spirit kebersamaan di antara kita sesama penduduk asli Nusantara di zaman penjajahan, yang kemudian diasah oleh Bung Karno sebagai figur persatuan bangsa pada waktu itu. Bagaimana beliau memikirkan suatu gagasan yang kemudian ia paparkan di hadapan sidang BPUPKI, lalu diadopsi untuk dijadikan dasar dalam menjalankan sebuah negara di tengah perbedaan tadi. Pejuang-pejuang yang tak luput dari ingatan, ialah Ahmad Soebardjo, Muhammad Yamin dan seluruh tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang berkumpul dalam sidang 29 Mei 1945 dan seterusnya, turut berkontribusi atas penyempurnaan gagasan bernegara sehingga lahirlah konsensus yang saat ini kita kenal dengan istilah "Pancasila".

Pancasila yang identik dilambangkan dengan burung Garuda, yang diikuti dengan berbagai simbol seperti bintang, rantai, kepala banteng, pohon beringin serta padi dan kapas, dan di bagian kakinya terdapat semboyan yang bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika". Gagasan ini tidak hanya berhenti pada 5 poin saja, namun kemudian diturunkan ke dalam berbagai penjabaran-penjabaran yang tidak keluar dari konteksnya, yang kita kenal dengan istilah "Butir-Butir Pancasila". Apa tujuan dari gagasan ini? Mengapa Bung Karno dan pejuang lainnya bersusah payah mendiskusikan, mempertimbangkan bahkan memperdebatkan ini dan itu, sehingga dibentuklah tim khusus di antaranya BPUPKI, PPKI dan Panitia Sembilan?

Bayangkan Nusantara yang terdiri dari Sabang sampai Merauke, tadinya memiliki kerajaan-kerajaan tersendiri di wilayahnya masing-masing. Kita mengenal kerajaan Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, Bone, Majapahit, Singasari dan masih banyak lagi yang mana tidak jarang di antaranya mensengketakan kehendaknya melalui jalur peperangan. Lantas, kini kita semua menjadi satu bagian seccara Nasional, sedikit banyaknya berkat gagasan Bung Karno dan pejuang-pejuang lainnya tadi. Maka sudah sepatutnya kita bersyukur atas adanya satu dasar yang menyatukan kita sebagai bangsa, yang kemudian harus kita implementasikan ke dalam berbagai sikap dan perilaku yang sesuai dengan hakikatnya.

Ketika berbicara mengenai implementasi, maka tidak terlepas dari sebuah wujud. Suatu hal yang dapat diukur baik secara fisik mau pun rohani. Perlu adanya kesadaran akan melestarikan nilai-nilai yang telah dititipkan oleh beliau semua. Yang mana kesadaran itu, hendaknya berujung pada niat kemudian turun sebagai tindakan. Di samping itu, kita yang dibekali dengan akal sebagai pembanding dengan makhluk ciptaan lainnya, dituntut bisa memaksimalkan karunia tersebut untuk tidak menyimpang dari nilai-nilai ke-Pancasilaan. Rasio kita harusnya dapat menimbang-nimbang yang mana dapat memecah belah persatuan dan menyia-nyiakan perjuangan bapak-bapak kita.

Sayangnya, mungkin karena bangsa kita masih terlalu muda, atau masih belia jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang telah lama berjaya, merdeka. Belum cukup lama kita meninggalkan masa orde baru yang menuai polemik dan tidak ingin kita ungkit-ungkit kembali. Pemilu langsung pun baru kita laksanakan di tahun 2004 lalu. Dan berlangsung baru sebanyak 4 kali. Sedikit banyaknya tentu kita masih menyesuaikan atau beradaptasi dengan itu semua. Maka dari itu, sebagai penyeimbang agar kita tidak salah melangkah, mengapa tidak kita putar rekaman yang menggambarkan perjuangan kita di masa lampau. Bagaimana kita berupaya dari tahun ke tahun, abad ke abad untuk menyelesaikan penjajahan di ibu pertiwi. Bagaimana kita memantik persatuan dan kesatuan yang kemudian melahirkan gerakan bersama dan tidak berbasis kelompok tertentu saja. Bagaimana cara kita mempersatukan beragam perbedaan yang ada sehingga bisa hidup berdampingan sebagai bangsa Indonesia.

Tentu kita akan menyadari bahwa ada titik yang dijadikan sebagai tujuan dari seluruh upaya pergerakan yang terlukis itu. Mereka tidak langsung memikirkan jalan menuju kesejahteraan, masyarakat yang berpendidikan, sehat dan sebagainya. Mereka mulai dari persatuan. Bagaimana mempertemukan masyarakat dengan berbagai latar belakang, demi sebuah integrasi Nasional. Karena perbedaan itulah, maka kita akan dapat saling memahami kebutuhan masing-masing dan bagaimana cara memenuhinya.

Sekali lagi, persatuan adalah tujuan dari sepak terjang para pendahulu kita. Sebagai bagian dari rasa persatuan, kita mengenal sebuah elemen, yakni kepekaan sosial. Kepekaan sosial lahir karena adanya kesadaran akan kebersamaan dan naluri untuk saling menjaga satu sama lain. Kepekaan membuat kita mampu menerka-nerka apa yang akan terjadi ke depannya. Selain itu, kita seolah terkoneksi antar sesama warga negara sehingga lahirlah hubungan sosial, yang diharapkan berujung pada kerja sama dan akomodasi jika kita kaitkan pada ranah Ilmu Sosiologi. Apa urgensi Kepekaan Sosial harus dimiliki oleh kita dalam era sekarang?

Sadarkah kita, bahwasannya saat ini dunia sedang dan masih dalam keadaan pandemi yang mana sejauh ini telah merenggut nyawa kerabat-kerabat kita? Tidak berhenti sampai di situ saja. Resiko yang mau tak mau kita terima adalah menurunnya kualitas finansial yang diarasakan oleh para orang tua kita, teman-teman dan saudara kita akibat sebuah kebijakan yang kembali lagi harus kita jalani untuk mencegah penularan penyakit berbahaya ini. Meski demikian, tuntutan hidup tetap berputar bahkan meningkat, yang kontras dengan keadaan ekonomi kita. Penulis pribadi sangat mengapresiasi segala upaya yang digencarkan oleh pemerintah untuk memulihkan keadaan ekonomi masyarakat. Dan sangat terharu dengan partisipasi masyarakat sipil yang berbondong-bondong menggaungkan aksi persaudaraan.

Belum lagi dengan adanya berbagai kelangkaan bahan-bahan baik untuk kebutuhan rumahan atau pun penunjang aktifitas rutinitas kita. Situasi seperti ini tentu berdampak pada psikis masyarakat, yang coba kita sekali-kali menengok ke mereka, bepergian ke sana dan ke mari dan hanya mengandalkan pendapatan di hari itu juga. Di sinilah salah satu contoh sebuah kepekaan itu bekerja. Para kaum intelektual, sebut saja teman-teman mahasiswa dengan segala daya kritisnya, pun menjadi bagian dari potret akibat situasi pandemi ini.

Penulis meyakini bahwa kita, pembaca yang budiman pasti mampu menalar efek-efek dari segala gambaran yang dituangkan di atas. Bukankah secara tidak langsung, kita bisa dengan mudah mencapai makna dari kepekaan sosial yang dimaksud dalam coretan sederhana ini?

Kebebasan berpendapat dan berekspresi, menjadi dalih bagi sebagian dari kita yang menggaungkan wacana-wacana yang hangat belakangan ini. Namun, kita kembalikan lagi pada sebuah kepekaan sosial itu tadi. Berbagai unsur seperti kemampuan nalar, rasa kebersamaan harusnya mampu memberikan pertimbangan yang matang atas mengudaranya hiruk-pikuk yang sedikit menggatalkan rongga telinga di 2 sampai 3 tahun belakangan. Coba kita putar kembali memori di tahun 2018 hingga 2019 silam. Bagaimana sebuah narasi yang digaungkan pun mengundang kontroversi antara kita. Yang kemudian dihadang dengan dalih, "Narasi ini bisa memecah belah masyarakat. Lagi-lagi penulis yakin dari kita akan tertegun mengingat polemik yang terjadi menjelang pesta demokrasi saat itu. Lantas, mengapa saat ini kita tidak memikirkan wacana-wacana yang berkembang saat ini beserta dampaknya seperti yang terjadi lalu?

Dari seluruh gambaran realita keadaan masyarakat di tengah pandemi yang terlukis di atas, harus kita akui sebagai unsur-unsur dari sikap sebagian kawan-kawan terhadap wacana yang beredar. Mengapa terkaan-terkaan akan gambaran ini luput dari nalar kita sehingga wacana tersebut terlempar di ruang publik? Bukankah kita yang mengemban tanggung jawab sebagai penyambung lidah rakyat, pemangku kebijakan, dan fasilitator dalam wadah aspirasi masyarakat paham akan seluruh aspek pembahasan yang bisa dikatakan receh ini? Kita sama-sama berasal dari kalangan terpelajar, dan telah menguji nalar dan logika melalui bangku perkuliahan, telah memiliki modal dasar untuk bisa menerapkan pelestarian nilai-nilai sakral dari sebuah gagasan yang tertanam dalam Pancasila. Para pemimpin saat ini, tentu telah melalui perjalanan panjang dalam mengasah kompetensi berpikirnya melalui proses akademik, organisasi dan lain-lain. Lantas, mengapa kita tidak sama-sama menerawang kemungkinan yang terjadi sebelum kita melemparkan sebuah wacana ke ruang publik? Bukannya kita sadari besarnya pengaruh dari media-media yang saat inimampu mentransmisikan informasi dengan cepat?

Beberapa waktu lalu kita menyaksikan arahan bapak presiden yang terhormat, bapak Jokowi yang meminta para menteri untuk senantiasa peka terhadap kebutuhan rakyat. Hal ini membuktikan, jauh sebelum coretan kecil ini tertulis, bapak kita telah menginstruksikan hal yang sama. Mengenai kepekaan, kita perlukan untuk melestarikan persatuan. Kita hangatkan suasana di tengah kondisi sulit, bukan justru memperkeruhnya.

Yang tidak kalang pentingnya adalah, negara ini lahir dari suara rakyat. Tangisan kita saat kerja paksa, keterbelakangan kita saat tidak bisa mengenyam pendidikan akibat adanya diskriminasi antara bangsawan dan pribumi, yang semua itu kita dapatkan pada era kolonial, kemudian mampu kita selesaikan dengan kesepahaman untuk merepresentasikan kepentingan rakyat di atas pundak perwakilan-perwakilan yang terpilih dari kalangan kita, sebangsa dan tanah air sendiri. Maka hendaknya kita berorientasi pada mereka, orang-orang yang menitipkan amanah kepada kita.

Maka dari itu, hendaknya kita kembali bersama-sama, memutar kembali perjalanan panjang Nusantara dalam menggalang persatuan dan kesatuan melalui perjuangan yang berkeringat, bahakn berdarah-darah. Kita telaah kembali makna dari sebuah dasar yang digaungkan para bapak-bapak kita. Kemudian kita pahami konteks perjuangan beliau-beliau, lalu melestarikan dalam bentuk perwujudan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari kita. Salam Persatuan!

Post a Comment for "Catatan Demokrasi Indonesia, Sebuah Refleksi Atas Beredarnya Wacana 3 Periode"

Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!