Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Penerapan Aksesibilitas Jadi Potensi Keunggulan Televisi

CORETAN PARTISIPATIF - Aksesibilitas dan perolehan informasi bagi kelompok disabilitas merupakan hak yang diamanahkan dalam UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Jika melirik pada persaingan antarmedia dewasa ini dituntut sebuah inovasi dan kreatifitas bagi pelakunya dalam mempertahankan eksistensi satu sama lain. Salah satu medium yang eksistensinya terdampak dari pesatnya digitalisasi, televisi seharusnya cermat melihat peluang dari pemanfaatan aksesibilitas untuk mencapai rating yang diinginkan.

Gambar Seseorang Melakukan Konferensi Pers

Kita ketahui, bahwa meski diterapkannya kebijakan pengalihan ke siaran TV Digital oleh pemerintah, namun tidak serta merta dapat mempertahankan popularitas televisi. Jika jenis konten yang disajikan oleh siaran televisi serupa dengan portal informasi di internet yang bisa diakses lebih cepat, apa yang akan menjadi pembeda? Perilaku Gen-Z yang gemar bernavigasi di sosial media dan tidak dapat terpisah dari gawainya telah memperoleh informasi lebih dulu bahkan sebelum disampaikan pada siaran televisi.

Sebelum menyimak uraian di bawah, izinkan penulis untuk menggaris bawahi fokus bahasan ini, yang merujuk pada program siaran televisi. Bukan penggunaan pesawat televisi. Seperti yang kita ketahui, bahwa siaran televisi dapat kita ikuti melalui platform live streaming seperti Youtube, Vidio dan website resmi stasiun televisi itu sendiri. Meski pun demikian, acara televisi masih bisa diikuti melalui pesawat televisi yang terdapat di rumah-rumah, seperti tv tabung, tv LCD/LED dan SmartTV.

Berdasarkan hasil survei oleh Nielsen Indonesia pada tahun 2022, penggunaan televisi masih terbilang tinggi dibandingkan internet. Sebesar 81,1% pengguna televisi pada kuartal III 2022, sedangkan pengguna internet berada di angka 76%. Meski pun mengungguli persentase pengguna internet, penulis memprediksi kondisi tersebut akan berbeda di tahun-tahun yang adakn datang.

Pasalnya, jika dibandingkan dengan kuartal III tahun 2019, pengguna televisi masih berada di angka 97,3% dan pengguna internet berada di 55,1%. Ini berarti, ada penyusutan jumlah pengguna televisi pada kurang lebih 3 tahun belakangan. Sebaliknya pengguna internet mengalami peningkatan yang pesat.

Keberadaan stasiun televisi di Indonesia telah menjadi media arus utama bagi pencarian informasi khalayak. Televisi dianggap memiliki kredibilitas dalam bentuk penyajiannya. Bahkan sebagian besar dapat dipercaya. Meski pun pada awal Januari 2016 lalu sempat dikabarkan adanya sanksi KPI terhadap 4 stasiun TV akibat pemberitaan hoax, namun selama perjalanan 7 tahun ini telah terbentuk paradikma bagi perusahaan tv di Indonesia bahwasannya kualitas konten dan keakuratan informasi menjadi daya tarik tersendiri.

Di samping itu, televisi dapat menjadi media alternatif bagi masyarakat yang tidak memungkinkan bernavigasi dengan gawainya untuk mencari informasi. Seperti para pekerja kantoran atau bahkan harian yang secara rutin dari pagi hingga sore melakukan aktivitas di tempat kerja. Maka kehadiran televisi bisa melengkapi kebutuhan informasi mereka yang tanpa harus memainkan jari untuk memilih berita.

Hari ini, adalah eranya persaingan. Seorang wirausaha yang terjun ke dunia digital harus mampu melakukan branding untuk meningkatkan penjualan. Content creator mesti pandai mengikuti algoritma untuk mencapai khalayak. Begitu pula perusahaan media harus menciptakan pembeda dari media-media lain. Dalam konteks ini, salah satu peluang yang seharusnya dimanfaatkan oleh stasiun televisi ialah penerapan aksesibilitas pada siaran-siaran mereka.

Salah satu bentuk aksesibilitas yang dimaksud ialah bahasa isyarat. Mungkin sebagian dari kita akan membantah isi tulisan ini. Katakan saja bahwa beberapa acara tv sudah menghadirkan bahasa isyarat, misalnya program acara Liputan6 SCTV, Seputar Indonesia RCTI, INews, TVRI dll. Namun, apakah fasilitas tersebut sudah terevaluasi berdasarkan kepuasan kawan-kawan Tuli sebagai sasaran utamanya?

Penggunaan bahasa isyarat saat ini hanya dilakukan di tayangan-tayangan tertentu dan tampilannya yang tidak memadai sehingga menyulitkan teman Tuli melihat penerjemah bahasa isyarat. Hal tersebut dikutip dari berita Liputan6.com di sini.

Pada postingan tersebut, diberitakan bahwa seorang ibu dari kawan Tuli melalui unggahan di sosial medianya mengungkapkan bahwa tampilan Juru Bahasa Isyarat (JBI) pada siaran televisi terlalu kecil untuk ditangkap oleh kawan Tuli. Dirinya melanjutkan dengan sentilan bahwa mereka bahkan sampai harus menggunakan kaca pembesar untuk dapat melihat JBI yang tersedia di pojok layar.

"Aku nggak bisa lihat. Berarti aku butuh kaca pembesar ya?" ujarnya.

Selain itu, seorang kawan Tuli di Jakarta, Akas pun mengungkapkan bahwa ketersediaan JBI pada siaran televisi masih terbatas.

"Kalau di tv ada. Tapi di jam-jam tertentu," tuturnya.

Sudah saatnya stasiun tv tanggap melihat peluang untuk menambah jangkauan audiensenya. Dan pengembangan aksesibilitas ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk dimaksimalkan. Namun, tentunya bukan hanya sekadar formalitas saja. Melainkan adanya komitmen untuk mengalokasikan terjemahan bahasa isyarat sebagai pedoman penyiaran. Sehingga, efektifitas penerapan bahasa isyarat dapat tercapai sebagai media komunikasi bagi kawan Tuli.

Penulis menemukan bahwa penerapan bahasa isyarat belum menjadi keharusan di setiap jam tayang masing-masing acara tv tersebut. Oleh karena itu, mengapa tidak stasiun televisi memulai memaksimalkan penerapan aksesibilitas bahasa isyarat untuk memperkuat audiense dari kawan Tuli? Padahal, para Lembaga Penyiaran kini berlomba-lomba berupaya mempertahankan eksistensinya seperti yang disinggung pada awal tulisan ini, untuk meningkatkan kembali tren penggunaan televisi di Indonesia.

Jika hal ini diterapkan, maka penggunaan bahasa isyarat tidak akan luput dari setiap program acara televisi. Dikarenakan telah menjadi acuan dari prosedur penyiaran dalam internal lembaga penyiaran itu sendiri.

Sejalan dengan hal tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pemangku regulasi untuk aktivitas penyiaran di Indonesia sudah merespon positif terhadap pemenuhan hak atas aksesibilitas dan perolehan informasi bagi kawan disabilitas. Hal ini tercermin dari terjalinnya komunikasi dan dialog-dialog bersama komunitas Tuli seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) dan Persatuan Tunarungu Indonesia (PERTTRI). Dikutip dari laman resmi KPI, Ubaidillah selaku Ketua Pusat mendukung adanya persamaan perlakuan dalam layar kaca lembaga penyiaran termasuk penyediaan fasilitas bagi kelompok disabilitas.

“Apa yang disampaikan PETRI dalam isi surat audiensi sesuai dengan semangat kami untuk menghadirkan bahasa isyarat di lembaga penyiaran agar informasi yang disampaikan dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, termasuk oleh kelompok disabilitas,” ujarnya saat menerima audiensi PERTRI pada Kamis, (4/5/2023).

Di Amerika Serikat, dilakukan hal serupa yang menggencarkan pemenuhan aksesibilitas bagi kawan Tuli dalam menyimak siaran televisi. Bahkan, di negeri paman Sam telah disahkan sebuah aturan perundang-undangan yang mewajibkan fasilitas yang dapat diakses bagi kelompok disabilitas, tak terkecuali pengguna bahasa isyarat. Disebut dengan istilah CVAA, singkatan dari The 21st Century Communications and Video Accessibility Act.

Amanah yang terkandung dalam kebijakan tersebut mencakup beberapa ketentuan yang meliputi penggunaan close caption atau subtitle sebagai keterangan tentang tampilan gambar, penggunaan bahasa isyarat sampai pada deskripsi video untuk mengakomodir pemirsa tunanetra. Jika kembali pada konteks ke-Indonesiaan, hal serupa pun bisa saja diterapkan, mengingat implementasi komitmen KPI terhadap pemenuhan aksesibilitas bagi kawan Tuli melalui tujuh komitmen yang ditanda tangani pemilik televisi saat proses perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran 10 televisi swasta yang bersiaran jaringan secara nasional, penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita menjadi salah satunya klausul yang harus dipenuhi. Walau pun kita masih tertinggal jauh dan belum ada aturan baku yang secara eksplisit mewajibkan adanya fasilitas bahasa isyarat dan deskripsi video pada setiap siaran televisi di Indonesia, namun proses dialektika pasti akan mengarah ke sana.

Inilah yang penulis maksudkan sebagai kelihaian melihat peluang untuk menambah rating bagi stasiun televisi di Indonesia. Penulis meyakini bahwa televisi di tengah pesatnya proses digitalisasi masih tetap akan mengudara sepanjang dibekali dengan kreatifitas dan inovasi dalam penyajian konten-kontennya. Adanya ruang untuk tampilan terjemahan bahasa isyarat pada layar bahkan dengan ukuran 1/6 dari resolusi layar sama sekali tidak mengurangi kualitas konten secara estetik. Hal tersebut justru akan menuai "upplause" dari berbagai pihak.

Terlebih dari kawan Tuli, yang sudah pasti akan lebih memilih media yang ramah bagi mereka dalam mencari informasi. Maka sekali lagi jika hal ini benar-benar diterapkan, televisi tidak hanya menjadi platform berita yang diakui kredibilitasnya, namun juga sebagai medium yang paling ramah, interaktif dan bersahabat dengan para pemirsanya.

Olehnya itu, sebagai pemantau perkembangan media dan digitalisasi untuk kesetaraan, penulis mengajak kepada Lembaga Penyiaran di Indonesia agar melihat pemenuhan aksesibilitas bahasa isyarat adalah sebuah peluang. Karena seiring dengan berkembangnya teknologi, edukasi saat ini kian digencarkan. Yang mana, akan bermuara pada perspektif masyarakat yang semakin maju. Sehingga pelayanan terbaik dan mengutamakan kepentingan semua kalangan adalah poin plus dan patut mendapatkan apresiasi dari khalayak. Dan hal itu tentu akan kembali pada lembaga pelayanan itu sendiri, yang tidak menutup kemungkinan berupa penghargaan serta bentuk-bentuk prestasi lainnya. (*)

Post a Comment for "Penerapan Aksesibilitas Jadi Potensi Keunggulan Televisi"

Advertisement: Dapatkan Layanan Domain dan Hosting Murah!